Jumat, 21 November 2008

PARADOKS DEMOKRASI

Oleh Muhammadun

Saturday, 19 January 2008 08:04
“The west won the world not by the superiority of its ideas, values or religion. But rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact, but non westerners never do.” (Prof. Samuel P Huntington).
Demokrasi dan kesejahteraan. Itulah topik hangat dalam Silaknas ICMI di pekanbaru. Nanat Fatah Natsir bahkan berharap Indonesia bisa menggapai kesejahteraan dengan jalan demokrasi (Riau Pos, 12/1/2008).
Padahal Indonesia sudah termasuk negara demokratis. Demikianlah pengakuan masyarakat dunia. Pasalnya, Indonesia telah berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi yang ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. Demikian tegas Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (Republika, 12/11/07). Indonesia akhirnya meraih “Medali Demokrasi”. Medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia. (web.bisnis.com, 13/11/07). Namun Indonesia tidak kunjung sejahtera dengan gegap gempita demokrasi
Pertanyaannya, apakah demokrasi berkolerasi dengan kesejahteraan masyarakat? Apakah dengan demokrasi seluruh kebutuhan masyarakat—seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan—tercukupi dengan baik? Faktanya, di Indonesia banyak rakyat miskin tanpa rumah dengan malnutrisi, tidak mempunyai harapan hidup layak karena tidak adanya jaminan kesehatan, biaya pengobatan yang melabung tinggi, rasa aman yang mahal dan yang lainnya.
Ternyata Amerika dan negera-negara Barat lain maju perekonomiannya bukan karena demokrasi. Sebagaimana kata Huntington diatas, “ Barat unggul di dunia sekarang ini bukan karena kehebatan ide, nilai-nilai atau agamanya. Barat maju, sejahtera dan unggul lebih karena kemampuannya mengorganisasi kekacauan (imperialisme)”. Lihatlah kenyataan ini, berapa ton emas yang dikeruk Freeport, dibawa ke Amereka dan telah membuat banyak rakyat Amerika sejahtera karenanya. Berapa milyar barel minyak dari Aceh, Riau, Cepu dan Kaltim yang disedot perusahaan-perusahaan Ameria dan telah membuat mereka kaya. Dan seterusnya.
Kalaupun Mereka menegakkan demokrasi, apalagi dengan biaya yang sangat mahal sebagaimana Pilpres di AS, sementara tidak ada imoperialisme yang mereka lakukan. Dipastikan Barat tidak semaju Sekarang. contoh lain adalah Belanda. Belanda bisa membangun negaranya seperti sekarang apakah karena demokrasi? Kalau kita melihat sejarah, Belanda bisa seperti sekarang bukan karena demokrasi tapi karena 350 tahun menjajah Indonesia.
Demikian juga Rusia. Rusia atau Uni Soviet, pada masa kejayaan komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga teknologi ke ruang angkasa. Padahal komunisme sering diklaim memberangus demokrasi dan kebebasan
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berfikir produktif atau tidak. Berfikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berfikir yang didasarkan pada ideologi tertentu. Sebab karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya.Salah Paham Tentang Demokrasi
Banyak kalangan salah paham terhadap demokrasi. Banyak orang hanya memahami demokrasi sebagai perwujudan partisipasi rakyat dalam Pemilu yang transparan dan akuntabel, ditambah dengan aktivitas musyawarah para wakil rakyat dalam mengambil keputusan; tak peduli apakah keputusan hasil musyawarah untuk dijadikan aturan itu bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran ataukah tidak. Dengan demikian, orang/lembaga/negara dikatakan demokratis jika mendengarkan pendapat orang lain melalui musyawarah sebelum mengambil keputusan. Inilah sebenarnya yang disebut dengan ‘demokrasi prosedural.
Walhasil, mudah dimengerti jika Pemilu yang demokratis tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Padahal, katanya, dengan demokrasi diharapkan negara bisa mencapai kemakmuran. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07). Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi di Indonesia juga telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Jurang pemisah ini jelas akan menimbulkan serentetan akibat buruk bagi peri kehidupan di masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (Antara News, 23/10/07). Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum
Kedaulatan Rakyat
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”; dengan kata lain, kedaulatan ada di tangan rakyat. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Benarkah secara faktual dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat? Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal, baik lokal maupaun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang katanya perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.Jelas, ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengakui kedaulatan hukum syariah (Hukum Allah). Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia. Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Allah Swt. berfirman:Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS an-An‘am [6]: 57).Jaminan atas kebebasan umum
Pertama: kebebasan beragama. Dalam demokrasi, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru. Seseorang juga berhak untuk tidak beragama atau membuat ‘agama baru’.Jelas ini bertentangan dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu masing-masing (lihat: QS). Namun, tatkala seseorang telah memeluk agama Islam, dia berkewajiban untuk tunduk dan patuh pada syariah atau aturan-aturan Allah, termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari agama Islam atau murtad. Rasulullah saw. bersabda:Siapa saja yang menukar agamanya (murtad) maka bunuhlah. (HR)
Islam sangat menjaga kesucian agama. Tidak bisa dengan seenaknya keluar masuk agama. Islam melarang umatnya untuk ‘membongkar-pasang’ keyakinan dalam Islam, dengan kata lain, melarang umatnya untuk membuat ‘agama baru’. Kedua: kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral, dll. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas ini bertentangan dengan Islam. Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll
Paradoks Demokrasi
Demokrasi secara ideal dirumuskan oleh Abraham Lincoln sebagai sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh dan untuk rakyat. Melalui sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang telah disepakati.
Tetapi apakah proses tersebut bisa berjalan secara linear sebagaimana cita-cita demokrasi; dari, oleh dan untuk rakyat? Dalam pelaksanaannya, sering wujud demokrasi tidak seperti itu. Proses tersebut sering terpotong hanya dari rakyat. Sementara prinsip oleh dan untuk rakyat sering terabaikan karena dimanipulasi oleh penguasa. Kekuasaan yang diperolehnya justru bukan untuk mensejahterakan masyarakat melainkan sebaliknya dijadikan jalan untuk menumpuk kekayaan pribadinya. Jadilah jargon itu berubah menjadi dari rakyat, oleh penguasa, untuk segelintir pengusaha
Realitas demokrasi bisa kita lihat dari beberapa hal berikut
Pemegang kedaulatan sebenarnya adalah para pemilik modal (ra’simaliyyun) bukan rakyatKetergantungan parpol pada jalur ekonomi sebenarnya merupakan suatu hal klasik dan wajar. Sebab, partai-partai memerlukan dana untuk berbagai macam kegiatannya. Namun, dalam demokrasi, nampaknya kerjasama aktor-aktor dan instrumen politik dengan aktor-aktor dan instrumen ekonomi telah membentuk suatu lingkaran syetan.
Pada saat akan terjadi pemilihan umum, para konglomerat berupaya memasang perlindungan bagi bisnisnya agar tidak rontok di tengah jalan dengan mengucurkan dana kepada partai-partai yang diprediksi akan meraih suara cukup banyak. Dengan dana itulah partai-partai tersebut menguasai media massa. Opini masyarakat pun dibentuk sedemikian rupa sehingga terjadilah pencitraan ‘baik’ pada partai-partai tadi.
Selain itu, dengan uang itu pulalah muncul jual beli suara baik dalam tataran pencoblosan maupun pemilihan kepala negara oleh para wakil rakyat. Semaraklah di sana-sini politik uang (money politics). Akhirnya, disadari atau tidak, para anggota legislatif dan elite penguasa dicukongi oleh pengusaha. Konsekuensi logisnya, produk perundang-undangan yang dibuat tidak begitu saja dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan para konglomerat. Bila tidak, logika di benak elite penguasa mengatakan akan terjadi kemandegan di dalam pembangunan perekonomian sebab sangat boleh jadi para pengusaha mengalihkan investasinya ke luar negeri. Apalagi, pada era swastanisasi seperti sekarang ini.
Tidak berhenti sampai di situ, penguasa dalam menelurkan produk perundang-undangan selalu berupaya melihat ‘kehendak rakyat’ agar memang terkesan demokratis. Namun, parameter ‘kehendak rakyat’ tadi adalah media massa. Padahal, media massa tidak mungkin dikuasai kecuali oleh mereka para kapitalis yang memang memiliki modal. Dengan demikian, opini dan tekanan media massa pun tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kepentingan politik dan ekonomi para konglomerat pemiliknya. Akhirnya, dengan alasan mengikuti ‘kehendak rakyat’ tadi para anggota legislatif bukannya membela kepentingan rakyat, melainkan membela kepentingan para konglomerat. Elite penguasa pun – yang sebagian juga merupakan pengusaha – berupaya untuk membesarkan, melindungi, bahkan membela kepentingan-kepentingan pengusaha tersebut. Semaraklah dimana-mana KKN. Dengan demikian, dalam realitas sistem demokrasi termasuk di Amerika sebagai negara dedengkotnya demokrasi, telah terjadi penyulapan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan para pengusaha dan konglomerat (ra’simaliyyun).
Kasus BBM, UU PMA, UU SDA, dan kasus Monsanto bisa menjadi contoh aktual. Kasus kenaikan BBM dulu misalnya, data dari LSI, 90 % lebih rakyat tidak menghendaki harga BBM naik. Namun, Pemerintah berkomplot dengan DPR tetap saja tidak menghiraukan aspirasi mayoritas rakyat. Kenapa? Karena yang berdaulat sesungguhnya adalah para raja minyak. Para kapitalis. Jadi kedaulatan di tangan rakyat adalah omong kosong dan utopi
Pemenang Tidak Selalu Benar
Dalam demokrasi, pemenang ditentukan oleh suara terbanyak. Namun, dalam kenyataannya para pemilih itu tidak banyak mengetahui secara persis realita yang terjadi. Opini yang dibentuk media massalah yang banyak menentukan sikap masyarakat. Dengan demikian tolok ukur pemilihan wakil rakyat bukannya didasarkan pada tolok ukur rasional melainkan masih banyak yang didasarkan pada pilihan emosional (dalam pemilu 7 Juni yang lalu, konon pemilih rasional hanya sekitar 3 % saja). Terlebih-lebih yang dipilih itu bukannya orang yang secara transparan diketahui seluk beluk dan latar belakangnya, karena hanya muncul saat kampanye. Sedangkan, siapa yang akan terpilih terserah kepada partai masing-masing. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila diantara anggota legislatif terpilih banyak non muslim seakan merupakan hal biasa, siapapun menjadi anggota legislatif tidak apa-apa, cukong dan petualang politik terpilih menjadi wakil rakyat juga tidak jadi soal, bahkan ada anggota dewan yang terlibat obat-obatan terlarang pun suatu hal yang dirasakan biasa, Bila sudah terjadi begini, harapan apa yang masih dapat digantungkan?Konsep Suara Mayoritas
Memang benar, realitasnya masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar muncul konsep perwakilan rakyat. Suatu hal yang patut dicermati adalah klaim sistem demokrasi terhadap suara mayoritas wakil rakyat di parlemen sebagai suara mayoritas rakyat
Dalam kenyataannya, telah terjadi pengalihan dari mayoritas rakyat ke minoritas rakyat. Bagaimana tidak, untuk menjadi anggota legislatif seseorang perlu mengantongi suara dengan kuota tertentu. Konsekuensinya, seorang wakil rakyat setara dengan jumlah rakyat dengan kuota tersebut. Setiap pikiran, saran, sikap, dan keputusan dari setiap anggota legislatif dianggap selalu setara dan senantiasa mewakili sejumlah orang tersebut. Padahal, realitasnya ‘wakil rakyat’ tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya, rakyat tidak dapat mengoreksi apalagi memecatnya. Kalaupun di-recall bukan oleh rakyat melainkan oleh pimpinan partainya. Dengan demikian, sebenarnya keputusan-keputusan yang diambil oleh para anggota legislatif sekalipun diakukan sebagai suara rakyat, hakikatnya telah beralih kepada suara anggota legislatif itu secara individual. Jelaslah, yang menetapkan berbagai keputusan itu dengan sendirinya menjadi para anggota legislatif itu sendiri yang , tentu saja, merupakan minoritas rakyat. Dengan demikian, klaim demokrasi bahwa pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas anggota legislatif merupakan juga suara mayoritas rakyat tidak sesuai dan tidak akan pernah sesuai dengan realitasnya.
Satu hal lagi, apakah suara mayoritas itu pasti benarnya ? Bila jawabannya didasarkan pada pelogikaan manusia maka boleh jadi jawabannya : Ya. Namun, ternyata Allah SWT Dzat Yang Maha Tahu menyatakan sebaliknya. Kebenaran bukan ditentukan oleh mayoritas atau minoritas suara melainkan ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. “Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah ! Dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah !,” demikian firman Allah di dalam surat Al Hasyr ayat 7. Bahkan Allah SWT menegaskan dalam banyak ayat Al Quran bahwa sesungguhnya kebanyakan manusia itu tidak beriman (Al Baqarah : 100), membenci kebenaran (Az Zukhruf : 43), fasik (Ali Imran : 110), tidak menggunakan akal (Al Maidah : 103), tidak mengetahui (Al An’am : 37), bodoh (Al An’am : 111), tidak bersyukur (Al A’raf : 7), mengikuti dugaan (Yunus : 36), musyrik (Yusuf : 106), berpaling dari ajaran Allah SWT (Al Anbiya : 24), pendusta (Asy Syu’ara : 223), tidak mendengar kebenaran (Fushilat : 4), dan masih banyak ayat-ayat lain. Berdasarkan hal ini tepat sekali ungkapan Syeikh Ali Balhaj (‘Aqidah Dimukrothiyah, hal. 14) bahwa konsep suara mayoritas gaya demokrasi merupakan khurafat. Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Assiddiqy dalam kesempatan Silaknas ICMI di Pekanbaru pekan lalu mengatakan bahwa demokrasi memang telah membawa cacat bawaan. Nah, mestinya kita tidak terjebak dalam pola pikir democratic trap (jeratan demokrasi). Untuk memperbaiki negeri ini kita harus keluar dari kotak pemikiran konvensional (out the box), sehingga akan muncul pikiran-pikiran alternatif yang jernih, tidak sekedar defensif apologetik tatkala menghadapi serbuan pemikiran dari Barat. Karena kata Samuel P Huntington tadi, Barat ternyata maju bukan karena keunggulan pemikiran, ide atau konsepnya namun karena kemampuan mengelola kekacaun alias imperialisme. Lantas untuk apa kita ikut-ikutan mengadopsi dan memasarkan ide-ide Barat ? Wallahu a’lam bi-showab,

0 komentar:

 

Makalah Motivasi Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template