Rabu, 28 Mei 2008

Kiprah Politik Ulama

Oleh Muhammadun

Siapa sosok ulama itu? Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar'iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena keda-laman ilmunya. Diantara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT. Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan Ulama dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad). Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “ Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Imam Nawawi Al-Bantani menjelas-kan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat. Ciri yang dimilikinya adalah: (a) Memiliki keiman-an yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap kebenaran, (b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan me-nyampaikan (tabligh), (c) faqih fi ad-din (paham dalam agama) sampai rasikhun fi al-Ilm' (amat dalam ilmunya), (d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat, dan (e) Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.

Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT:

'Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).

Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka...” (QS. Hud [11]: 113). Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti 'jangan cenderung kepadanya'; Qatadah menyebutkan, 'jangan bermes-raan dan jangan mentaatinya'; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti 'jangan meridlai perbuatan-perbua-tannya'.

Terkait masalah ini, Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat. Diantaranya pendapat Imam Ats-Tsauri yang berkata: “Di nereka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur'an yang suka berkunjung kepada para penguasa”. Senada dengan hal ini, Imam Auza'i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “ Siapa yang berdo'a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.

Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak mening-galkan kebatilan. Terdapat seseorang yang mengiriminya surat nasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, peng-akuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan kera-guan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “ Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”. Jadi, ulama itu tidak akan pernah menjilat kepada penguasa yang menzhalimi rakyatnya.

Memakna Politik

Sebelum berbicara lebih jauh tentang hal tersebut penting dipahami apa yang disebut politik. Memang, politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara peng-gunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hal. 27).

Dalam sistem sekuler, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditullis dalam buku The Prince. Machi-avellis mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan pengu-asa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekuler merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah 'Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu' (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie). Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyim-pulkan bahwa politik itu kotor. Karena-nya, Islam tidak boleh mencampuri politik, Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah bersifat politik.

Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah, artinya mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhith, dalam kata kunci sasa). Nabi menggunakan istilah politik (siyasah) dalam hadits: ”Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para Nabi (tasusu hum al-anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Muslim). Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam karenanya berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan melarang dan memerintah dengan landasan hukum/syariat Islam (MR Kurnia; Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf, hal. 33-38).

Bila dilihat dari hubungan antara makna ulama dengan makna politik maka semestinya ulama dan politik Islam tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Artinya, ulama harus mengurusi urusan umat atas dasar Islam.

Aktivitas Politik Ulama

Abu Nu'aim menyatakan bahwa Nabi mengatakan, “Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan pengua-sa”. Karenanya, ulama harus memeran-kan diri dalam rangka kebaikan masya-rakat, termasuk meluruskan penguasa.

Diantara aktivitas politik ulama adalah:

  1. Membina umat. Ulama terus mela-kukan pembinaan di tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina perilakunya dengan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.
  2. Membangun kesadaran politik umat (wa'yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariat Islam. Bahkan, boleh jadi ulama menjadi penguasa. Karena-nya, ada sebagian ahli tafsir yang memaknai ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59 sebagai ulama.
  3. Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan: “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan men-jaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka meng-ikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati. Namun, seka-rang terdapat penguasa yang zhalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk meng-ingatkan para penguasa dan para pembesar” (Ihya 'Ulumuddin, juz 7, hal. 92).

Berdasarkan hal di atas jelaslah bahwa ulama menjalankan politik Islam, yaitu mengurus urusan masyarakat dengan Islam. Bukan sebaliknya, melupakan Islam tetapi berpegang pada politik sekuler yang hanya untuk kepentingan pribadi belaka.Wallahu a'lam.


Continue Reading...

URGENSI ETIKA LINGKUNGAN


Oleh : Muhammadun

  1. PENDAHULUAN

Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia

Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri (egoisme).

Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT Newmont, illegal logging, okupasi lahan kawasan hutan, hingga kasus-kasus korupsi birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan global, semuanya berkaitan dengan masalah etika. Masalah moral. Terutama berkaitan dengan kerakusan dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam mengeksploitasi alam.

Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam.

Oleh karena itu krisis lingkungan dewasa ini, menurut Naess(1993) dalam Keraf (2002) hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Perubahan dari etika antroposentrisme ke etika biosentrisme dan ekosentrisme. Keraf (2002) menegaskan bahwa gagasan Naess ini adalah revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam. Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh masyarakat suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern.

Alam sebetulnya mempunyai hak untuk eksis. Itulah hak asasi alam. Tidak hanya manusia yang berhak untuk eksis di bumi. Oleh karena itu perlu ada sinergi antara alam dan manusia. Sehingga, Keraf (2002) mengharapan adanya gerakan bersama berbagai pihak untuk mewujudkan etika lingkungan hidup yang dapat ”merawat” bumi menjadi tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.

B. MEMAHAMI MAKNA ETIKA LINGKUNGAN

Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?

Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.

Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

B.1 Etika Ekologi Dangkal

Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.

Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :

1. Manusia terpisah dari alam,

2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.

3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya

4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia

5. Norma utama adalah untung rugi.

6. Mengutamakan rencana jangka pendek.

7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin

8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi

B. 2 Etika Ekologi Dalam

Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.

Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.

Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.

Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.

Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.

Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :

1. Manusia adalah bagian dari alam

2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang

3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang

4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk

5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai

6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati

7. Menghargai dan memelihara tata alam

8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem

9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan

C. PROBLEMATIKA LINGKUNGAN DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1. KRISIS LINGKUNGAN DAN ETIKA ANTROPOSENTRISME

Krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Degradasi kualitas sumberdaya alam semakin mengerikan. Celaknya, manusia modern tidak mampu menahan laju dengadasi lingkungan ini. Hukum lingkungan tidak berdaya dalam mencegah dan menangulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap alam. Etika antroposentrisme menurut Keraf (2002) cenderung mangantarkan perilaku manusia yang ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari beberapa fakta berikut :

a. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi proses peradilan. Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi salah satu contoh. Hingga setahun lebih kasus yang menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses peradilannya belum jelas. Dugaan kuat karena pemilik PT. Lapindo Brantas adalah pejabat tinggi di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, ketika pengusaha menjadi penguasa maka tidak jarang kepentingan publik akan dikorbankan. (Mukhamadun, Jurnal Respublika, Nopember 2006). Kondisi seperti ini mengakibatkan belum adanya law enforcement dan law of justice (penegakan hukum dan penegakan keadilan).

Semestinya harus ada proses hukum yang fair atas kasus seperti ini, sehingga proses hukum dan denda dilakukan sebagaimana UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 – 46. Sesuai dengan prinsip “polluters must pay” pihak-pihak yang terbukti dalam peradilan melakukan tindakan pencemaran atau kerusakan lingkungan harus membayar ganti rugi dan melakukan reklamasi. Namun hinga saat ini ribuan masyarakat Porong yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan serta anak-anak mereka tidak bisa sekolah, belum mendapatkan keadilan.

b. Mafia Peradilan dan Tekanan Pemodal. Keraf (2002) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing multinasional banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus menggunakan superioritas ekonomi dan politik untuk melindungi kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang berkembang. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama krisis lingkungan hidup. Kasus-kasus kejahatan lingkungan seringkali endingnya tidak membawa rasa keadilan Contoh ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adalah bebasnya bos PT Newmont. Pengadilan Negeri Manado memutuskan, PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR), anak perusahaan dari Newmont Mining Corporation, dan Presiden Direkturnya, Richard Ness, tidak bersalah atas seluruh dakwaan pencemaran dan pelanggaran atas peraturan yang berlaku. Putusan pengadilan yang didasarkan pada bukti-bukti hukum pada selama masa persidangan hampir 21 bulan tersebut, menyatakan Teluk Buyat tidak tercemar. Diputuskan juga, PT NMR selama ini, perusahaan telah mematuhi seluruh ketentuan perizinan dan memiliki peraturan yang diperlukan selama delapan tahun masa operasinya, dari tahun 1996 hingga 2004 (Riau Pos, 25 April 2007).

Keputusan kontroversial ini diduga akibat masih adanya mafia peradilan dan tekanan dari asing. Padahal, Jaksa Penuntut Umum menuduh PT NMR dan presiden direkturnya telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan saat melakukan kegiatan tambangnya, di daerah dekat Teluk Buyat di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dari penelitian Tim Terpadu antar departemen yang dikoordinir oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) diketahui beberapa sumber pencemaran yang dapat dicurigai sebagai jalur pencemaran (pathways) logam berat yang mengkontaminasi warga disana. Air minum dan konsumsi ikan merupakan jalur utama yang dicurigai. Penelitian Tim Terpadu menemukan bahwa salah satu sampel air sumur bor milik Newmont mengandung logam arsen melampaui baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan. Dari sumur bor inilah, Newmont mensuplai air minum dengan truk tanki bagi warga Pante Buyat hingga Desember 2003. Sejak Januari 2004, warga Pante Buyat disuplai dengan saluran air pipa. Sampel air yang diuji oleh Tim Terpadu menemukan bahwa air pipa mengandung logam berat Mangan melampaui Peraturan Menteri Kesehatan. Warga Pante Buyat kesulitan mendapatkan air bersih sejak Newmont beroperasi tahun 1996 (www.walhi.or.id).

c. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan kelicikan. Diijinkannya 13 perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan model pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak pertambangan hanya berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam dan Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksploitasi tambang dalam kawasan Hutan Lindung dipastikan akan berdampak negatif bagi lingkungan. Kolong-kolong dengan air asam eks pertambangn timah di Dabo Singkep, Bangka dan Belitung semestinya menjadi pelajaran. Namun dengan alasan kepentingan ekonomi sesaat, eksploitasi di kawasan lindung ini terus berlanjut. Kebijakan ini akan menekan peranan hutan sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan keragaman hayati. Fungsi hutan sebagai pendukung perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul penguasaan kawasan itu oleh pihak swasta. Disamping itu hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi hutan sebagai tempat hidup keragaman hayati dan penyeimbang iklim juga akan terganggu.

Contoh konflik kepentingan berbagai sektor, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum hingga berakibat langsung pada kerusakan lingkungan adalah seperti yang terjadi pada kawasan pesisir. Konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menurut Safitri (2005) banyak berawal dari tidak jelasnya penguasaan. Dalam sektor perikanan misalnya, batas wilayah tangkapan nelayan lokal, kewenangan pemda dan kewenangan pusat tidak jarang menimbulkan masalah. Nelayan lokal merasa semakin terhimpit karena harus bersaing dengan nelayan asing yang dilengkapi peralatan canggih. Disamping itu akses nelayan semakin dibatasi akibat pengaplingan wilayah pesisir dan laut oleh berbagai badan usaha. Menurut Menteri Perikanan dan Kelautan (2003) di Indonesia terdapat 14 sektor pembangunan didukung 20 Undang-Undang, dan 5 konvensi internasional yang meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sementara itu banyak kewenangan instansi yang didukung perundang-undangannya masing-masing. Undang-Undang yang sudah ada bersifat sangat sektoral dan terpilah-pilah sehingga pengelolaannya tidak efektif, tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada stakeholders dan investor. Dan sebagaimana kita ketahui koordinasi antar sektor dan antara pemerintahan pusat dan daerah sangat lemah sehingga acap kali terjadi tumpang tindihnya kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Tentu hal ini dapat memicu konflik dalam pengelolaan sumber daya pesisir (www.dkp.go.id).

Menurut Prof Dr Emil Salim, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1988 dan 1988-1993), kebijakan yang terkait dengan lingkungan di Indonesia sangat lemah, antara lain akibat lemahnya koordinasi antarsektor. "Koordinasi antara kehutanan, prasarana wilayah, lingkungan hidup, pertanian, pertambangan, dan kelautan sangat memprihatinkan. Kebanyakan berpikir sektoral, sementara lingkungan hidup memerlukan pendekatan holistis lintas sektor. Akibatnya, kondisi lingkungan hidup menurun. Masalah penyelundupan kayu dan illegal logging tak teratasi, pencurian ikan dan pasir berlangsung terus. Tak masuk akal apabila aparat pemerintah tak bisa mendobraknya," ungkap Emil (Kompas, 9/8, 2005).

Kalau kita jujur, ternyata aktor-faktor pendorong kerusakan lingkungan di atas sangat berkaitan dengan etika. Lebih lanjut kita bisa melihat bahwa etika yang salah akan menjadi driving factor kerusakan lingkungan. Misalnya :

a. Etika Developmentalisme dan Liberalisasi Ekonomi. Pembangunan memang tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa resiko. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk system ekologi yang disebut ekosistem (Soemarwoto, 1994). Sementara itu McNeely (1992) menyatakan bahwa perangsang ekonomi ternyata jauh lebih condong mengakibatkan eksploitasi sumberdaya hayati daripada melestarikannya. Kerusakan hutan akibat eksplotasi kayu dan barang-barang tambang terbuka seperti eksploitasi batubara bisa menjadi contoh. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia memang luar biasa besar. Kekayaan alam itu jelas mengundang investor asing terutama di sektor pertambangan. Hanya saja, investasi besar di bisnis pertambangan juga menuai kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Oleh karena itu menurut Sale (1996) kalau tidak ada langkah-langkah kongkrit pelestarian alam oleh berbagai negara maka eksistensi bumi bisa terancam. Kerusakan lingkungan akan diperparah dengan adanya liberalisasi perdagangan. Keraf (2002) menyebutkan adanya keterkaitan erat antara liberalisasi perdagangan dengan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia biasanya mengambil jalan termudah dalam menghadapi persaingan global, dengan cara menggadaikan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi.

Keraf (2002) juga menegaskan bahwa etika developmentalisme telah mengilhami ide utang luar negeri. Utang luar negeri telah mengantarkan dunia ketiga termasuk Indonesia pada kerusakan sumberdaya alam dan lungkungan yang sangat parah.

Eksploitasi di sektor pertambangan, bisa dijadikan contoh buruknya pengelolaan lingkungan hidup. Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang liberal, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 - 3,5 %, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA Sembada, 1997).

Padahal aktifitas PT FI telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Di areal per-tambangan Freeport, kurang lebih 13 ribu
hektar hutan rusak akibat tailing, tidak terhitung jumlah mangrove yang
dirusak untuk pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik, hutan yang rusak
untuk pembangunan jalan, dan kawasan ekosistem alpin yang hilang untuk selamanya karena menjadi tempat tumpukan batuan limbah. Belum lagi sisa-sisa lubang (pit), tumpukan batuan limbah, dan lokasi lain yang akan rusak untuk selamanya. Lebih dari 4 milyar ton batuan limbah yang bersifat asam ditumpuk di lembah Cartenz dan Aghawagon. Tanda-tanda telah terjadinya aliran air asam tambang telah ditemukan oleh Tim Audit Lingkungan PT. Freeport (www.walhi.or.id).

Liberalisasi di sektor migas juga makin terasa sejak disahkan UU Migas No. 22 tahun 2001. Liberalisasi akan semakin sempurna dengan disahkannya UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) akhir Maret lalu. RUU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970). Dalam RUU ini, investasi sebagai penopang pembangunan dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi kelestarian lingkungan.

b. Sikap dan perilaku destruktif. Djajadiningrat (2001) mengatakan bahwa keutuhan lingkungan banyak tergantung pada kearifan manusia dalam mengelola sumberdaya alam. Individu, kelompok masyarakat, pengusaha damn pemerintah semstinya peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup dan fungsi lingkungan hidup. Namun acapkali sikap hidup manusia justru sangat destruktif terhadap lingkungannya. Misalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya. Kebiasaan buruk ini bisa berdampak pada lingkungan kesehatan, pemandangan yang tidak menarik, mengakibatkan tersumbatnya saluran air dan lain-lain. Kebiasaan pengelola HPH (sekarang IUPHHK-HA) melakukan penebangan hutan tanpa mengindahlkan prinsip pengelolaan hutan lestari telah mengakibatkan laju deforestari yang luar biasa. Setidaknya 2,5 juta ha/th hutan terdegradasi (www.dephut.go.id)

Contoh lain adalah kebiasaan membakar hutan dan lahan dalam proses penyiapan lahan perkebunan, pertanian dan hutan tanaman industri. Kebiasaan buruk ini terbukti telah mengakibatkan bencana kabut asap yang sangat berbahaya bagi akifitis penerbangan, transportasi darat, kesehatan, pendidikan, dll. Akibat kebakaran hutan tahun 1997 misalnya, telah mengakibatkan rusaknya hidupan liar, habitat alamiah, dan hancurnya ekosistem. Bahkan WWF, menyebut tahun 1997 sebagai tahun terperangkapnya dunia oleh kebakaran (Glover, 2002).

Kebiasaan pengusaha pertambangan terbuka (open mining) yang tidak sungguh-sungguh melakukan reklamasi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang sangat parah. Seperti eksploitasi pasir di Kepri, pertambanagn Timah di Dabo-Singkep, Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan, Pertambangan Emas dan Tembaga di Papua.

2. ALTERNATIF SOLUSI

Menyadari berbagai problematika lingkungan di atas, Keraf (2002) memberikan beberapa alternatif solusi sebagai berikut :

  1. Perubahan cara pandang terhadap alam secara filosofis dan radikal.

Disadari bahwa etika antroposentrisme telah menjadikan alam hanya sekedar alat pemuas, hanya sekedar obyek eksploitasi manusia. Dan ternyata hal ini menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu dalam buku Etika Lingkungan, Keraf (2002) menuntut adanya perubahan radikal dalam masyarakat modern. Etika Antroposentrisme harus dirubah menjadi etika biosentrisme dan bahkan etika ekosentrisme. Namun etika baru ini tidak bisa direalisasikan manusia modern yang masih “tercemari” paradigma lama yang antroposentris. Sehingga perlu perubahan mendasar dan diaktualisasikan dalam wujud gerakan bersama membangun kultur baru yang ecosophy. Yakni gerakan bersama merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya sebagai tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.

  1. Politik Lingkungan yang Dilandasi Etika Lingkungan.

Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro berupa paradigma pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti dengan paradigma keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika developmentalisme yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan. Developmentalisme menurut Wolgang Sach dalam Keraf (2002) telah menjebak banyak negara di dunia. Hasli yang diperoleh adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di negara dunia ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara segelintir orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin, kehancuran lingkungan, dan tergusurnya budaya lokal. Oleh karena itu, disinilah urgensinya Pengelolaan Lingkungan dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma keberlanjutan ekologi yang luas sebagai alternatif dari konsep pembangunan berkelanjutan.

  1. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan menentukan sejauhmana tujuan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dicapai dan diwujudkan. Konsep ini diharapkan bisa mencegah munculnya conflict of interest antar penyeleggara pemerintahan. Selanjutnya diharapkan juga akan menekan korupsi birokrasi. Sehingga akan menyelamatkan sumberdaya alam. Konsep ini mensyaratkan beberapa hal. Pertama pemerintahan harus berjalan secara efektif. Kedua pemerintah itu sendiri harus tunduk pada aturan yang berlaku. Selama tidak ada kepastian hukum , selama itu pula tidak mungkin bisa dijamin ada pemerintahan yang baik. Ketiga, pemerintah berdiri tegak sebagai wasit dan penjaga aturan hukum demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat. Keempat, perlu dijamin lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah berfungsi secara maksimal dan efektif. Sehingga fungsi social kontrol bisa optimal.

  1. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang perlu dibahas tersendiri. Aspek ini sangat terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Langkah yang harus ditempuh adalah : pertama, reformasi legislasi. Peraturan perundangan yang tidak pro lingkungan dan tidak pro publik harus ditinjau ulang. Undang-undang Sumberdaya Air, Undang-undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya ditinjau kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila substansi peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut. Kedua, reformasi pengadilan (judical reform). Prinsip independensi pengadilan, prinsip profesionalitas, prinsip akuntabilitas, prinsip partisipasi, prinsip transaparansi dan prinsip aksesibilitas harus dapat duwujudkan. Ketiga, reformasi apartur penegak hukum (enforcement apparatur reform). Dan keempat adalah reformasi budaya hukum (legal culture reform).

  1. Kembali ke Alam, Belajar dari Etika Masyarakat Adat.

Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh masyarakat suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern. Menurut The World Conservation Union (1997) dalam Keraf (2002), dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 diantaranya adalah masyarakat adat. Ini sebuah jumlah yang besar, yang tidak boleh dianggap remah. Kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan kemajuan IPTEK selalu termarjinalisasi dan bahkan diabaikan. Hal yang fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam, kehidupan dan relasi diantara keduanya dalam perspektif religius,perspektif spiritual. Inilah kesadaran oaling berharga dan paling tinggi.

Dalam perspektif itu, agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh manusia dalam relasi yang harmonis antara manusia dan alam. Keraf (2002) kembali berharap adanya revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam.

3. OPSI

Alternatif solusi yang ditawarkan oleh Keraf (2002) untuk menyelesaikan problematika lingkungan seakan hanya sebuah ide utopia. Mengapa demikian? Keraf (2002) di akhir buku Etika Lingkungan, hanya menawarkan konsep kembali pada kearifan lokal masyarakat adat. Mampukah masyarakat adat menghadapi globalisasi kapital? Karena tren peradaban dunia justeru makin kapitalistik. Etika antroposentrisme makin mendominasi kehidupan umat manusia. Ideologi developmentalisme kian menemukan momentumnya, saat para pengusaha “hitam” menjadi penguasa. Terjadilah konspirasi antara penguasa dan pengusaha dengan korporasinya.

Namun demikian, konsep etika lingkungan yang ditawarkan oleh Keraf (2002) jika dilaksanakan secara komprehensip baik pada tataran individu, publik maupaun negara tetap memberi secercah harapan bagi upaya penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu opsi yang harus diambil adalah pilihan yang berlandaskan pada etika ekonomi sekaligus etika ekologi. Konsep valuasi ekonomi sumberdaya alam, yang menilai secara komprehensip sumber daya alam (Fauzi,2004) kiranya bisa menjadi jalan tengah (conflict resolution) antara penganut etika antroposentrisme versus etika ekosentrisme.

DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung.

Djojohadikusumo, S.1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Glover, D, dan Timothy Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana. Diterjemahkan oleh Ario Trenggono. Penerbit ITB. Bandung.

Keraf, S.A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta .Terjemahan

Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20

Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soemarwoto, O, 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Baru Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas-Yayasan Kehati. Jakarta.

Harian Kompas, 9 Agustus 2005

Harian Ekonomi Neraca, 14 Februari 2007

Harian Riau Pos, 25 April 2007

Sigi, SCTV, Ahad 1 April 2007

Majalah Swasembada, 1997

www.dkp.go.id

www.dephut.go.id

www.walhi.or.id


Continue Reading...

KEKECEWAAN RAKYAT PADA PARPOL

Oleh Muhammadun

FENOMENA KEMISKINAN


BBM naik, jumlah orang miskin pun pasti naik. Bukan hal yang susah sebenarnya untuk menilai dengan sudut pandang tertentu makna atau definisi miskin atau juga fakir miskin. Dan tentu juga beberapa variabel yang menunjukkan tingkat kemiskinan. Tidak salah juga membandingkan definisi yang pernah dirumuskan oleh Badan Pusat Statistika (BPS) yaitu, fakir miskin adalah orang atau keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan atau orang atau keluarga yang mempunyai sumber mata pencaharian namun tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan ( PP No. 42/1981). Berdasarkan pengertian tersebut, secara operasional maka fakir miskin mempunyai biaya pengeluaran rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari Rp. 42.380,00 untuk masyarakat perkotaan dan Rp. 33.590,00 untuk masyarakat pedesaan, per orang, per bulan diluar kebutuhan non-pangan (BPS tahun 1998).

Berdasarkan data, selama tahun 2007, kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia secara umum masih memprihatinkan. Jumlah rakyat miskin masih cukup banyak, dan tidak mengalami perubahan secara signifikan meski berbagai usaha telah dilakukan. Malah menurut BPS, jumlah rakyat miskin di tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 35 juta orang. Di tahun 2007, meski pemerintah melalui BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, tapi Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%. Ini didasarkan pada perhitungan penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah USD 2/hari/orang, dari jumlah penduduk Indonesia 232,9 juta orang pada 2007 dan 236,4 juta orang pada 2008.

Kalau mau berkata jujur, penurunan data kemiskinan yang dibuat pemerintah itu layak diragukan banyak kalangan karena tidak ada satu pun argumen yang memuaskan rasional ekonomi, yang dapat menjelaskan mengapa angka kemiskinan bisa dikatakan turun. Apalagi kalau digunakan indikator yang sering dijadikan acuan dalam peningkatan kualitas hidup, yakni bidang-bidang ketenagakerjaan, kesehatan dan gizi, pendidikan dan perumahan, tampak bahwa kesejahteraan rakyat Indonesia memang sangat jauh dari harapan.

Aksi pemerintah yang cukup beragam, mulai program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai tahun 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat, tampaknya tidak akan mampu menyelesaikan problematika kemiskinan dan kesejahteraan rakyat selama pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil. Dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp 210 trilyun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya diletakkan di BI melalui instrumen SBI. Akibatnya, bank sentral harus mengeluarkan bunga lebih dari Rp 20 trilyun setahun, suatu jumlah yang sangat besar. Meski pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapi lebih 5%, tapi ternyata tiap pertumbuhan 1% tahun ini, menurut laporan Bappenas (2006), hanya membuka 48.000 lapangan kerja. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak selaras dengan pembukaan lapangan kerja. Bila bekerja adalah jalan untuk mendistribusikan kekayaan dan mengurangi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia telah gagal bekerja sesuai harapan. Inilah yang oleh Paul Grugman (1999) disebut sebagai ekonomi balon (buble economy) akibat praktek bunga dan judi (Maurice Alaise, 1998).

Sementara itu, bukannya mengoptimalkan pendapatan dari aset-aset milik negara dan menghentikan ekonomi ribawi, pemerintah malah berencana meningkatkan kembali utang negara. Terakhir terdengar ada usulan utang yang secara keseluruhan bernilai 35 milyar dollar. Bila benar, dipastikan utang itu akan makin menambah beban. Untuk tahun 2007 ini saja, cicilan dan bunga utang sudah lebih dari 30% besaran APBN, lebih besar dari anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersama-sama.

Oleh sebab itu, menjadi sangat mendesak untuk menghilangkan segera faktor-faktor yang membuat membengkaknya ekonomi balon dan tidak bergeraknya sektor riil tadi, yakni praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi, pelarangan bunga bank (riba) dan judi (dalam bursa saham yang disebut oleh Maurice Alaise sebagai a big casino), dipastikan akan meningkatkan velocity of money, yang pada gilirannya akan melancarkan distribusi kekayaan, karena uang akan selalu menggerakkan aliran barang dan jasa. Kondisi ini bisa dilihat dari produk-produk perbankan dalam Islam yang semuanya terkait dengan aktivitas riil dalam perekonomian, baik melalui akad jual beli maupun bagi hasil, sehingga pertumbuhan uang akan senantiasa diikuti dengan pertumbuhan aliran barang dan jasa. Dan terbukti dalam krisis ekonomi, hanya bank yang berpredikat syariah yang mampu bertahan.

Disisi lain sebenarnya banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiyah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menjadi fenomena di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Bahkan problem ekonomi sesungguhnya memang bukan kelangkaan (scarcity) melainkan buruknya distribusi. Fakta menunjukkan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sampai kepada orang-orang miskin. Juga bukan karena kelangkaan Sumber Daya Alam (SDA), tapi disebabkan oleh distribusi SDA yang tidak merata. Sistem ekonomi kapitalis telah membuat 80 % kekayaan alam, misalnya, dikuasai oleh 20 % orang, sedangkan 20% sisanya harus diperebutkan oleh 80 % rakyat.

KEKECEWAAN RAKYAT PADA PARPOL

Ketika puluhan juta rakyat menderita kemiskinan, di saat yang sama, pemandangan kontradiktif terjadi di gedung DPR/MPR. Wakil rakyat dan pemerintah berdebat, bahkan loby berhari-hari hanya untuk mengesahkan sebuah RUU Pemilu. Mereka bukan mempermasalahkan hajat hidup rakyat. Masalah kemiskinan seperti yang telah merenggut nyawa Daeng Basse dan anaknya. Mereka hanya memikirkan kepentingan dirinya. Memikirkan nafsunya masing-masing. Nasib rakyat? Peduli amat. Begitulah sikap mereka

Wajar kalau hasil survey nasional yang dilakukan Indo Barometer menemukan, mayoritas publik Indonesia relatif kurang puas terhadap kinerja parpol. “Tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, yang tidak puas 54,6%, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%,” ungkap Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari saat melansir hasil survey, “Multipartai Ekstrem atau Multipartai Sederhana? Sistem Kepartaian Menurut Publik Indonesia.”

Surutnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga terekam dari hasil jajak pendapat Kompas. Sebagian besar (66,5% responden) menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja wakil rakyat dari parpol yang mereka pilih dalam Pemilu 2004. Tak ada satu pun dari tujuh parpol besar Pemilu 2004 yang bisa memuaskan masyarakat. Sebagian besar responden menyatakan kekecewaannya terhadap kiprah para politisi dari parpol yang mereka pilih dalam Pemilu, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Dalam wujud aspirasi politik, kekecewaan publik terhadap parpol tampaknya akan diwujudkan dengan mengubah pilihan partai dalam Pemilu nanti. Sebanyak 41,7% responden menyatakan akan mengubah pilihan parpolnya seandainya ada Pemilu saat ini. Hanya sekitar 28,2% yang tetap setia memilih parpol pilihan pada 2004. Lagi-lagi, tak ada satu pun dari tujuh besar parpol Pemilu 2004 yang tak ditinggalkan oleh pemilihnya. Seperempat hingga separuh dukungan yang tadinya diberikan kepada partai yang dipilihnya berpotensi akan hilang.

Buruknya kinerja dan citra partai politik menyebabkan parpol bukan menjadi pilihan utama penyaluran aspirasi publik. Jajak pendapat Kompas juga menyebutkan, dalam fungsinya sebagai tempat menyalurkan aspirasi sosial politik, kiprah parpol yang ada diakui paling rendah dibandingkan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa, lembaga keagamaan, maupun media massa. Bahkan jika responden dituntut untuk menentukan pilihan aspirasi apakah lebih condong ke parpol, LSM, lembaga keagamaan ataukah media massa, hanya sekitar 11,3% yang masih percaya aspirasi mereka dapat diusung oleh parpol. Sebaliknya, media massa menjadi sarana penyaluran aspirasi yang paling tinggi, mencapai 39 persen. LSM dipercaya oleh 16,7 persen responden dan lembaga keagamaan disebut oleh 22,7 persen responden.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menilai, kinerja partai politik (parpol) yang buruk semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol tersebut. Akibatnya, pada Pemilu 2009 diperkirakan jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput) semakin bertambah.

Bisa dimengerti jika rakyat tidak puas terhadap kinerja partai. Partai politik yang seharusnya berpihak kepada rakyat, melalui angota-angotanya di DPR, justru sering mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kenaikan BBM salah satu contohnya. Bisa disebut hampir semua anggota DPR setuju. Kalaupun ada yang tidak setuju, perlawanan yang ditunjukkan tidak gigih, sekadar basa-basi. Kasus impor beras adalah contoh lainnya. Awalnya anggota DPR terkesan protes besar, lobi sana lobi sini, akhirnya damai.

Partai peduli rakyat tentu bukan partai yang mengambil jalan pragmatis. Partai seperti ini jangan harap berbuat maksimal membela rakyat. Bagi partai pragmatis, yang utama adalah kepentingan partai, khususnya individu anggota partai, bukan rakyat. Saat menjelang Pemilu partai ini biasanya mendekati rakyat dengan janji-janji. Tidak ketinggalan dengan hadiah kecil untuk mencari simpati, bagi-bagi kaos plus uang saku. Namun, setelah menjadi pemenang, wajah dan hatinya bukan lagi menghadap rakyat, malah berbalik kepada pemilik modal yang mendukung kemenangannya. Lahirlah kebijakan yang lebih pro pemilik modal daripada rakyat. Jangan berharap ada idealisme membela rakyat pada partai pragmatis seperti ini.

Partai peduli rakyat bukanlah partai yang berasas kapitalis-sekular. Rakyat Indonesia sudah berpengalaman dengan partai seperti ini. Berbagai penderitaan rakyat dulu dan sekarang justru terjadi saat Indonesia dikuasai oleh partai kapitalis-sekular. Lahirlah kebijakan-kebijakan kapitalis yang menyengsarakan masyarakat. Pemimpin dari partai kapitalis-sekular ini lebih memilih mengikuti instruksi IMF dan Bank Dunia daripada memperhatikan rakyat. Tuan besar mereka bukan rakyat, tetapi kapitalis asing.

Dari partai kapitalis-sekular ini lahirlah kebijakan yang pro-kapitalis seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU SDA UU Penanaman Modal, dll. Padahal UU seperti ini akan menambah beban rakyat. UU Migas yang mensyaratkan penghapusan subsidi BBM telah membuat BBM mahal yang berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Dengan UU SDA, air pun berpeluang dikuasai asing hingga air bisa menjadi mahal.

Sementara UU Penanaman Modal merupakan jalan tol bagi asing untuk merampok kekayaaan alam Indonesia. UU ini membolehkan perusahaan asing mengeksploitasi sektor-sektor strategis yang dalam Islam masuk dalam milkiyah ‘âmmah (pemilikan umum) yang sesungguhnya menjadi milik rakyat. Minyak, gas, emas, perak, yang kalau dikelola dengan baik oleh negara bisa menjadi sumber penghasilan utama negara justru diberikan sebagian besarnya kepada asing. Di sisi lain, Pemerintah selalu beralasan kurang dana untuk mengurus masyarakat.

Partai kapitalis-sekular ini tidak bisa diharapkan membela rakyat, karena mereka mendukung kebijakan privatisasi membabi buta yang menjadi kebijakan utama dalam sistem ekonomi kapitalis. Kecenderungan privatisasi itu sudah mulai menimbulkan korban pada rakyat. Privatisasi pendidikan telah membuat pendidikan menjadi mahal. Rakyat miskin pun kesulitan untuk mendapat pendidikan yang layak. Pelayanan kesehatan juga semakin mahal karena privatisasi.

Partai politik yang peduli rakyat juga bukan yang hanya menjadikan agama sebagai alat politik. Menjadikan Islam sebagai dagangan murah untuk meraup suara mayoritas umat Islam. Partai politik yang peduli rakyat hanya akan terlahir jika punya akar ideoligi yang kuat. Sehingga mereka tidak hanya mengejar harta dan tahta. Namun seluruh aktivitasnya dilandasi ketaatan pada Allah. Karena ada kesadaran diri, semua akan dipertanggungjawabkan din Mahkamah Allah yang Maha Adil.

Semestimnya Parpol berkaca dalam lintasan sejarah peradaban Islam telah memberikan pelajaran bagaimana yang ditunjukkan dalam jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya; tercatat dalam piagam kesepakatan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk penduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”

Saatnya kita sebagai rakyat cerdas bersikap, agar kita tidak tertipu berkali-kali. Apalagi menjelang berbagai Pilkada dan Pemilu 2009, para penipu akan menebarkan janji-janji manis. Sementara rakyat kebanyakan tetap miskin, merintih dan menangis. Saatnya perubahan fundamental dilakukan….

Continue Reading...

BBM DAN PENDERITAAN RAKYAT

Oleh : Muhammadun

Kenaikan harga BBM akan memperbanyak orang gila” demikian headline Riau Pos Jumat (9/5). Pernyataan Prof. Ryas Rasyid yang dikutip Riau Pos ini menanggapi rencana kenaikan harga BBM. Memang, akhirnya harga BBM dipastikan naik lagi. Kepastian naiknya harga BBM diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu. Menurut Presiden SBY sendiri, tahapan sekarang bukan lagi membahas harga BBM naik atau tidak, tetapi bagaimana imbas kenaikan BBM 20-30 persen terhadap berbagai komoditas, termasuk instrumen untuk melindungi rakyat miskin dan berpenghasilan rendah (Republika, 6/5/). Padahal sehari sebelumnya Presiden SBY sepakat untuk tidak terlalu cepat menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan BBM adalah langkah terakhir (Kompas, 5/5).

Faktanya, “langkah terakhir” inilah yang justru dengan cepat ditempuh oleh Pemerintah, meskipun pekan ini demonstrasi penolakan rencana kenaikan BBM mulai marak dimana-mana. Namun Pemerintah nampaknya tetap bersikukuh akan menaikan harga BBM. Alasan utamanya, sebagaimana berkali-kali diungkap Pemerintah, adalah tekanan yang semakin berat terhadap APBN 2008 akibat terus membengkaknya anggaran subsidi BBM sebagai dampak langsung dari terus meroketnya harga BBM di pasaran internasional hingga nyaris menembus US$ 120 perbarel.

Yang amat disesalkan, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM akan diberlakukan justru di tengah-tengah jeritan masyarakat dari berbagai lapisan yang tengah menderita akibat himpitan ekonomi dan beban hidup yang semakin berat. Tidak jarang, bagi yang tipis iman, frustasi hingga bahkan diakhiri dengan aksi bunuh diri menjadi pilihan. Ini sudah banyak terjadi dan diekspos oleh banyak media akhir-akhir ini.

Karena itu, apapun alasannya, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM rata-rata 30% adalah kebijakan yang dzalim karena akan semakin menyengsarakan rakyat. Jumlah penduduk miskin dipastikan akan bertambah. Sementara fenomena bunuhdiri akibat kemiskinan pun makin marak.

Betulkah Tidak Ada Langkah Lain?

Sebagaimana yang sudah-sudah, ketika krisis ekonomi terjadi, kebijakan menaikkan tarif kebutuhan pokok seperti BBM pada akhirnya selalu menjadi “langkah terakhir” yang menjadi favorit Pemerintah. Dengan menyebut kebijakan menaikkan BBM sebagai “langkah terakhir” Pemerintah seperti berupaya meyakinkan masyarakat, bahwa Pemerintah telah sungguh-sungguh menempuh cara-cara lain di luar “langkah terakhir” tersebut. Padahal jelas masih ada cara atau langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi ini.

Jika kita memperhatikan struktur pengeluaran APBN, ada tiga kelompok besar yang secara seksama peranannya masing-masing dalam menjaga kesinambungan fiskal, yaitu: (1) pengeluaran Pemerintah pusat (investasi sektoral dan belanja rutin); (2) transfer ke pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi fiskal; (3) pembayaran bunga dan cicilan pokok utang (luar negeri dan dalam negeri).

Karena itu, secara teknis pun, setidaknya ada tiga cara/langkah lain sebelum Pemerintah menempuh langkah menaikkan harga BBM:

Pertama, Penghematan belanja rutin. Ini sudah dilakukan Pemerintah, yang memotong anggaran untuk kementerian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi yang berkaitan dengan BBM, termasuk subsidi listrik. Hendaknya penghematan ini juga dilakukan di seluruh daerah. Kalau jujur anggaran Negara banyak dikeluarkanuntuk proyek-proyek yang tidak bermanfaat untuk rakyat. Belanja rutin yang relatif besar adalah untuk belanja pegawai. Uang rakyat banyak digunakan untuk membayar pegawai yang tidak bekerja secara professional. Bukankah kita banyak melihat PNS pada jam kerja jalan-jalan ke Mall, nongkrong di warung kopi, main game, main domino, dll?

Kedua, Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban Pemerintah. Sepanjang tahun 2007 saja, menurut catatan Pemerintah, dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp 146 triliun (Waspada Online, 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08). Ini jelas bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban Pemerintah dan masyarakat.

Ketiga, Penangguhan pembayaran utang luar negeri. Tahun 2008 ini cicilan pembayaran utang plus bunganya mencapai Rp 151,2 triliun (Beritasore.com, 25/11/2007). Penangguhan ini jelas akan membantu mengurangi beban berat APBN. Selain itu, menurut Ekonom Dr. Hendri Saparini, Pemerintah bisa mengurangi anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah. Langkah lainnya adalah memotong rantai broker (baik dalam ekspor maupun impor minyak oleh Pertamina) yang sangat merugikan. (al-Wa’ie, No. 92/April/2008).

Sementara itu secara sistematik mestinya harus ada program serius untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Karena selama ini faktanya banyak sumur-sumur potensial yang tidak beoperasi. Sehingga target produksi minyak beberapa tahun terakhir selalu menurun. Disamping itu program pengembangan biofuel, sebagai alternatife juga harus direalisasikan.

Akar Persoalan

Jika kita cermati, kebijakan untuk menaikkan harga BBM sesungguhnya terkait dengan rencana lama Pemerintah untuk mengurangi secara bertahap—bahkan menghapus sama sekali—subsidi di bidang energi. Artinya, bisa dikatakan, kenaikan harga BBM di pasar internasional hanyalah “faktor kebetulan” saja, yang kemudian dijadikan momentum oleh Pemerintah. Pasalnya, penghapusan subsidi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, negara sama sekali tidak berkewajiban untuk menjamin kebutuhan publik seperti BBM, listrik, pendidikan atau kesehatan masyarakat. Seluruhnya diserahkan pada mekanisme hukum pasar.

Hal ini diperparah sejak krisis yang menimpa Indonesia tahun 1997. Pemerintah Indonesia secara resmi meminta bantuan dan campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Salah satu tuntutan IMF adalah agar Pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk membantu masyarakat membeli BBM dan mengurangi tarif dasar listrik. IMF berdalih bahwa untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, salah satu cara yang harus dilakukan adalah mengurangi dan menghapuskan subsidi Pemerintah terhadap BBM dan TDL.

Selain itu, yang tak kalah besar dampak buruknya bagi masyarakat, adalah kebijakan Pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi.

Liberalisasi sektor energi tidak hanya di sektor hulu (eksplorasi), tetapi juga di sektor hilir (distribusi dan pemasaran). Pemerintah lewat UU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di Pertamina. Yang ditawarkan kemudian adalah membuka kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Dengan alasan supaya kompetisi dalam distribusi dan pemasaran bisa ’adil’, lagi-lagi subsidi minyak harus dicabut. Sebab, jika masih ada minyak bersubsidi di pasaran, pemain asing enggan masuk. Ini setidaknya pernah ditegaskan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, ”Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migasw. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14/5/03).

Sepintas ide ini cukup menarik. Namun, ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Karena mereka yang paling siap, maka merekalah yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).

Dikeluarkannya Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 bisa mengancam keamanan pasokan BBM di dalam negeri karena memperbolehkan perusahaan minyak yang menjadi kontraktor bagi hasil (KPS) di Indonesia untuk menjual sendiri minyaknya. Pasalnya, jika terjadi penurunan produksi di dalam negeri, bisa saja mereka tetap menjual minyak mereka ke luar negeri. Kilang-kilang Indonesia juga terancam tidak mendapatkan minyak mentah saat liberalisasi Migas dimulai tahun 2005. Alasannya, biaya produksi minyak di dalam negeri yang rata-rata 3 dolar AS dinilai terlalu mahal, sementara di luar negeri lebih rendah.

Adapun di sektor hulu, di Indonesia saat ini ada 60 perusahaan kontraktor; 5 (lima) di antaranya masuk kategori super majors yaitu, Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan Texaco; selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan kontraktor independen. Dari 160 area kerja (working area) yang ada, super majors menguasai cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%. Adapun yang termasuk kategori majors menguasai cadangan masing-masing, minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.

Penutup

Bagaimanapun, krisis BBM dan krisis ekonomi secara keseluruhan tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme global yang semakin mencengkeramkan kakinya di Indonesia. Cengkeraman tersebut antara lain melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang terus memaksakan kehendaknya terhadap Indonesia, khususnya melalui beragam UU dan berbagai macam kebijakan ekonomi Pemerintah maupun melalui perusahaan-perusahaan asing yang terus menghisap habis kekayaan alam Indonesia.

Karena itu, jelas diperlukan keberanian pemerintah dan rakyat Indonesia untuk keluar dari jeratan kapitalisme global ini, untuk kemudian segera memberlakukan sistem yang baik, yang tidak lain bersumber dari sang Pencipta, Allah Yang Mahatahu.

Sistem yang baik tentu harus dijalankan oleh pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik tidak lain adalah pemimpin yang amanah, yang mau tunduk pada sistem yang baik tersebut. Pemimpin yang baik antara lain yang tidak akan pernah tega membebani rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan mereka. Pemimpin yang baik tentu tidak ingin semakin banyak rakyatnya jadi orang gila, karena stress. Wallahu A’lam.


Continue Reading...
 

Makalah Motivasi Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template