Rabu, 28 Mei 2008

URGENSI ETIKA LINGKUNGAN


Oleh : Muhammadun

  1. PENDAHULUAN

Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia

Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri (egoisme).

Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT Newmont, illegal logging, okupasi lahan kawasan hutan, hingga kasus-kasus korupsi birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan global, semuanya berkaitan dengan masalah etika. Masalah moral. Terutama berkaitan dengan kerakusan dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam mengeksploitasi alam.

Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam.

Oleh karena itu krisis lingkungan dewasa ini, menurut Naess(1993) dalam Keraf (2002) hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Perubahan dari etika antroposentrisme ke etika biosentrisme dan ekosentrisme. Keraf (2002) menegaskan bahwa gagasan Naess ini adalah revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam. Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh masyarakat suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern.

Alam sebetulnya mempunyai hak untuk eksis. Itulah hak asasi alam. Tidak hanya manusia yang berhak untuk eksis di bumi. Oleh karena itu perlu ada sinergi antara alam dan manusia. Sehingga, Keraf (2002) mengharapan adanya gerakan bersama berbagai pihak untuk mewujudkan etika lingkungan hidup yang dapat ”merawat” bumi menjadi tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.

B. MEMAHAMI MAKNA ETIKA LINGKUNGAN

Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?

Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.

Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

B.1 Etika Ekologi Dangkal

Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.

Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :

1. Manusia terpisah dari alam,

2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.

3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya

4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia

5. Norma utama adalah untung rugi.

6. Mengutamakan rencana jangka pendek.

7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin

8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi

B. 2 Etika Ekologi Dalam

Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.

Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.

Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.

Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.

Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.

Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :

1. Manusia adalah bagian dari alam

2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang

3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang

4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk

5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai

6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati

7. Menghargai dan memelihara tata alam

8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem

9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan

C. PROBLEMATIKA LINGKUNGAN DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1. KRISIS LINGKUNGAN DAN ETIKA ANTROPOSENTRISME

Krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Degradasi kualitas sumberdaya alam semakin mengerikan. Celaknya, manusia modern tidak mampu menahan laju dengadasi lingkungan ini. Hukum lingkungan tidak berdaya dalam mencegah dan menangulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap alam. Etika antroposentrisme menurut Keraf (2002) cenderung mangantarkan perilaku manusia yang ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari beberapa fakta berikut :

a. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi proses peradilan. Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi salah satu contoh. Hingga setahun lebih kasus yang menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses peradilannya belum jelas. Dugaan kuat karena pemilik PT. Lapindo Brantas adalah pejabat tinggi di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, ketika pengusaha menjadi penguasa maka tidak jarang kepentingan publik akan dikorbankan. (Mukhamadun, Jurnal Respublika, Nopember 2006). Kondisi seperti ini mengakibatkan belum adanya law enforcement dan law of justice (penegakan hukum dan penegakan keadilan).

Semestinya harus ada proses hukum yang fair atas kasus seperti ini, sehingga proses hukum dan denda dilakukan sebagaimana UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 – 46. Sesuai dengan prinsip “polluters must pay” pihak-pihak yang terbukti dalam peradilan melakukan tindakan pencemaran atau kerusakan lingkungan harus membayar ganti rugi dan melakukan reklamasi. Namun hinga saat ini ribuan masyarakat Porong yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan serta anak-anak mereka tidak bisa sekolah, belum mendapatkan keadilan.

b. Mafia Peradilan dan Tekanan Pemodal. Keraf (2002) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing multinasional banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus menggunakan superioritas ekonomi dan politik untuk melindungi kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang berkembang. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama krisis lingkungan hidup. Kasus-kasus kejahatan lingkungan seringkali endingnya tidak membawa rasa keadilan Contoh ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adalah bebasnya bos PT Newmont. Pengadilan Negeri Manado memutuskan, PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR), anak perusahaan dari Newmont Mining Corporation, dan Presiden Direkturnya, Richard Ness, tidak bersalah atas seluruh dakwaan pencemaran dan pelanggaran atas peraturan yang berlaku. Putusan pengadilan yang didasarkan pada bukti-bukti hukum pada selama masa persidangan hampir 21 bulan tersebut, menyatakan Teluk Buyat tidak tercemar. Diputuskan juga, PT NMR selama ini, perusahaan telah mematuhi seluruh ketentuan perizinan dan memiliki peraturan yang diperlukan selama delapan tahun masa operasinya, dari tahun 1996 hingga 2004 (Riau Pos, 25 April 2007).

Keputusan kontroversial ini diduga akibat masih adanya mafia peradilan dan tekanan dari asing. Padahal, Jaksa Penuntut Umum menuduh PT NMR dan presiden direkturnya telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan saat melakukan kegiatan tambangnya, di daerah dekat Teluk Buyat di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dari penelitian Tim Terpadu antar departemen yang dikoordinir oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) diketahui beberapa sumber pencemaran yang dapat dicurigai sebagai jalur pencemaran (pathways) logam berat yang mengkontaminasi warga disana. Air minum dan konsumsi ikan merupakan jalur utama yang dicurigai. Penelitian Tim Terpadu menemukan bahwa salah satu sampel air sumur bor milik Newmont mengandung logam arsen melampaui baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan. Dari sumur bor inilah, Newmont mensuplai air minum dengan truk tanki bagi warga Pante Buyat hingga Desember 2003. Sejak Januari 2004, warga Pante Buyat disuplai dengan saluran air pipa. Sampel air yang diuji oleh Tim Terpadu menemukan bahwa air pipa mengandung logam berat Mangan melampaui Peraturan Menteri Kesehatan. Warga Pante Buyat kesulitan mendapatkan air bersih sejak Newmont beroperasi tahun 1996 (www.walhi.or.id).

c. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan kelicikan. Diijinkannya 13 perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan model pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak pertambangan hanya berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam dan Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksploitasi tambang dalam kawasan Hutan Lindung dipastikan akan berdampak negatif bagi lingkungan. Kolong-kolong dengan air asam eks pertambangn timah di Dabo Singkep, Bangka dan Belitung semestinya menjadi pelajaran. Namun dengan alasan kepentingan ekonomi sesaat, eksploitasi di kawasan lindung ini terus berlanjut. Kebijakan ini akan menekan peranan hutan sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan keragaman hayati. Fungsi hutan sebagai pendukung perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul penguasaan kawasan itu oleh pihak swasta. Disamping itu hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi hutan sebagai tempat hidup keragaman hayati dan penyeimbang iklim juga akan terganggu.

Contoh konflik kepentingan berbagai sektor, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum hingga berakibat langsung pada kerusakan lingkungan adalah seperti yang terjadi pada kawasan pesisir. Konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menurut Safitri (2005) banyak berawal dari tidak jelasnya penguasaan. Dalam sektor perikanan misalnya, batas wilayah tangkapan nelayan lokal, kewenangan pemda dan kewenangan pusat tidak jarang menimbulkan masalah. Nelayan lokal merasa semakin terhimpit karena harus bersaing dengan nelayan asing yang dilengkapi peralatan canggih. Disamping itu akses nelayan semakin dibatasi akibat pengaplingan wilayah pesisir dan laut oleh berbagai badan usaha. Menurut Menteri Perikanan dan Kelautan (2003) di Indonesia terdapat 14 sektor pembangunan didukung 20 Undang-Undang, dan 5 konvensi internasional yang meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sementara itu banyak kewenangan instansi yang didukung perundang-undangannya masing-masing. Undang-Undang yang sudah ada bersifat sangat sektoral dan terpilah-pilah sehingga pengelolaannya tidak efektif, tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada stakeholders dan investor. Dan sebagaimana kita ketahui koordinasi antar sektor dan antara pemerintahan pusat dan daerah sangat lemah sehingga acap kali terjadi tumpang tindihnya kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Tentu hal ini dapat memicu konflik dalam pengelolaan sumber daya pesisir (www.dkp.go.id).

Menurut Prof Dr Emil Salim, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1988 dan 1988-1993), kebijakan yang terkait dengan lingkungan di Indonesia sangat lemah, antara lain akibat lemahnya koordinasi antarsektor. "Koordinasi antara kehutanan, prasarana wilayah, lingkungan hidup, pertanian, pertambangan, dan kelautan sangat memprihatinkan. Kebanyakan berpikir sektoral, sementara lingkungan hidup memerlukan pendekatan holistis lintas sektor. Akibatnya, kondisi lingkungan hidup menurun. Masalah penyelundupan kayu dan illegal logging tak teratasi, pencurian ikan dan pasir berlangsung terus. Tak masuk akal apabila aparat pemerintah tak bisa mendobraknya," ungkap Emil (Kompas, 9/8, 2005).

Kalau kita jujur, ternyata aktor-faktor pendorong kerusakan lingkungan di atas sangat berkaitan dengan etika. Lebih lanjut kita bisa melihat bahwa etika yang salah akan menjadi driving factor kerusakan lingkungan. Misalnya :

a. Etika Developmentalisme dan Liberalisasi Ekonomi. Pembangunan memang tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa resiko. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk system ekologi yang disebut ekosistem (Soemarwoto, 1994). Sementara itu McNeely (1992) menyatakan bahwa perangsang ekonomi ternyata jauh lebih condong mengakibatkan eksploitasi sumberdaya hayati daripada melestarikannya. Kerusakan hutan akibat eksplotasi kayu dan barang-barang tambang terbuka seperti eksploitasi batubara bisa menjadi contoh. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia memang luar biasa besar. Kekayaan alam itu jelas mengundang investor asing terutama di sektor pertambangan. Hanya saja, investasi besar di bisnis pertambangan juga menuai kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Oleh karena itu menurut Sale (1996) kalau tidak ada langkah-langkah kongkrit pelestarian alam oleh berbagai negara maka eksistensi bumi bisa terancam. Kerusakan lingkungan akan diperparah dengan adanya liberalisasi perdagangan. Keraf (2002) menyebutkan adanya keterkaitan erat antara liberalisasi perdagangan dengan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia biasanya mengambil jalan termudah dalam menghadapi persaingan global, dengan cara menggadaikan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi.

Keraf (2002) juga menegaskan bahwa etika developmentalisme telah mengilhami ide utang luar negeri. Utang luar negeri telah mengantarkan dunia ketiga termasuk Indonesia pada kerusakan sumberdaya alam dan lungkungan yang sangat parah.

Eksploitasi di sektor pertambangan, bisa dijadikan contoh buruknya pengelolaan lingkungan hidup. Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang liberal, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 - 3,5 %, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA Sembada, 1997).

Padahal aktifitas PT FI telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Di areal per-tambangan Freeport, kurang lebih 13 ribu
hektar hutan rusak akibat tailing, tidak terhitung jumlah mangrove yang
dirusak untuk pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik, hutan yang rusak
untuk pembangunan jalan, dan kawasan ekosistem alpin yang hilang untuk selamanya karena menjadi tempat tumpukan batuan limbah. Belum lagi sisa-sisa lubang (pit), tumpukan batuan limbah, dan lokasi lain yang akan rusak untuk selamanya. Lebih dari 4 milyar ton batuan limbah yang bersifat asam ditumpuk di lembah Cartenz dan Aghawagon. Tanda-tanda telah terjadinya aliran air asam tambang telah ditemukan oleh Tim Audit Lingkungan PT. Freeport (www.walhi.or.id).

Liberalisasi di sektor migas juga makin terasa sejak disahkan UU Migas No. 22 tahun 2001. Liberalisasi akan semakin sempurna dengan disahkannya UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) akhir Maret lalu. RUU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970). Dalam RUU ini, investasi sebagai penopang pembangunan dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi kelestarian lingkungan.

b. Sikap dan perilaku destruktif. Djajadiningrat (2001) mengatakan bahwa keutuhan lingkungan banyak tergantung pada kearifan manusia dalam mengelola sumberdaya alam. Individu, kelompok masyarakat, pengusaha damn pemerintah semstinya peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup dan fungsi lingkungan hidup. Namun acapkali sikap hidup manusia justru sangat destruktif terhadap lingkungannya. Misalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya. Kebiasaan buruk ini bisa berdampak pada lingkungan kesehatan, pemandangan yang tidak menarik, mengakibatkan tersumbatnya saluran air dan lain-lain. Kebiasaan pengelola HPH (sekarang IUPHHK-HA) melakukan penebangan hutan tanpa mengindahlkan prinsip pengelolaan hutan lestari telah mengakibatkan laju deforestari yang luar biasa. Setidaknya 2,5 juta ha/th hutan terdegradasi (www.dephut.go.id)

Contoh lain adalah kebiasaan membakar hutan dan lahan dalam proses penyiapan lahan perkebunan, pertanian dan hutan tanaman industri. Kebiasaan buruk ini terbukti telah mengakibatkan bencana kabut asap yang sangat berbahaya bagi akifitis penerbangan, transportasi darat, kesehatan, pendidikan, dll. Akibat kebakaran hutan tahun 1997 misalnya, telah mengakibatkan rusaknya hidupan liar, habitat alamiah, dan hancurnya ekosistem. Bahkan WWF, menyebut tahun 1997 sebagai tahun terperangkapnya dunia oleh kebakaran (Glover, 2002).

Kebiasaan pengusaha pertambangan terbuka (open mining) yang tidak sungguh-sungguh melakukan reklamasi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang sangat parah. Seperti eksploitasi pasir di Kepri, pertambanagn Timah di Dabo-Singkep, Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan, Pertambangan Emas dan Tembaga di Papua.

2. ALTERNATIF SOLUSI

Menyadari berbagai problematika lingkungan di atas, Keraf (2002) memberikan beberapa alternatif solusi sebagai berikut :

  1. Perubahan cara pandang terhadap alam secara filosofis dan radikal.

Disadari bahwa etika antroposentrisme telah menjadikan alam hanya sekedar alat pemuas, hanya sekedar obyek eksploitasi manusia. Dan ternyata hal ini menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu dalam buku Etika Lingkungan, Keraf (2002) menuntut adanya perubahan radikal dalam masyarakat modern. Etika Antroposentrisme harus dirubah menjadi etika biosentrisme dan bahkan etika ekosentrisme. Namun etika baru ini tidak bisa direalisasikan manusia modern yang masih “tercemari” paradigma lama yang antroposentris. Sehingga perlu perubahan mendasar dan diaktualisasikan dalam wujud gerakan bersama membangun kultur baru yang ecosophy. Yakni gerakan bersama merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya sebagai tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.

  1. Politik Lingkungan yang Dilandasi Etika Lingkungan.

Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro berupa paradigma pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti dengan paradigma keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika developmentalisme yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan. Developmentalisme menurut Wolgang Sach dalam Keraf (2002) telah menjebak banyak negara di dunia. Hasli yang diperoleh adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di negara dunia ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara segelintir orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin, kehancuran lingkungan, dan tergusurnya budaya lokal. Oleh karena itu, disinilah urgensinya Pengelolaan Lingkungan dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma keberlanjutan ekologi yang luas sebagai alternatif dari konsep pembangunan berkelanjutan.

  1. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan menentukan sejauhmana tujuan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dicapai dan diwujudkan. Konsep ini diharapkan bisa mencegah munculnya conflict of interest antar penyeleggara pemerintahan. Selanjutnya diharapkan juga akan menekan korupsi birokrasi. Sehingga akan menyelamatkan sumberdaya alam. Konsep ini mensyaratkan beberapa hal. Pertama pemerintahan harus berjalan secara efektif. Kedua pemerintah itu sendiri harus tunduk pada aturan yang berlaku. Selama tidak ada kepastian hukum , selama itu pula tidak mungkin bisa dijamin ada pemerintahan yang baik. Ketiga, pemerintah berdiri tegak sebagai wasit dan penjaga aturan hukum demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat. Keempat, perlu dijamin lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah berfungsi secara maksimal dan efektif. Sehingga fungsi social kontrol bisa optimal.

  1. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang perlu dibahas tersendiri. Aspek ini sangat terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Langkah yang harus ditempuh adalah : pertama, reformasi legislasi. Peraturan perundangan yang tidak pro lingkungan dan tidak pro publik harus ditinjau ulang. Undang-undang Sumberdaya Air, Undang-undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya ditinjau kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila substansi peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut. Kedua, reformasi pengadilan (judical reform). Prinsip independensi pengadilan, prinsip profesionalitas, prinsip akuntabilitas, prinsip partisipasi, prinsip transaparansi dan prinsip aksesibilitas harus dapat duwujudkan. Ketiga, reformasi apartur penegak hukum (enforcement apparatur reform). Dan keempat adalah reformasi budaya hukum (legal culture reform).

  1. Kembali ke Alam, Belajar dari Etika Masyarakat Adat.

Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh masyarakat suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern. Menurut The World Conservation Union (1997) dalam Keraf (2002), dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 diantaranya adalah masyarakat adat. Ini sebuah jumlah yang besar, yang tidak boleh dianggap remah. Kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan kemajuan IPTEK selalu termarjinalisasi dan bahkan diabaikan. Hal yang fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam, kehidupan dan relasi diantara keduanya dalam perspektif religius,perspektif spiritual. Inilah kesadaran oaling berharga dan paling tinggi.

Dalam perspektif itu, agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh manusia dalam relasi yang harmonis antara manusia dan alam. Keraf (2002) kembali berharap adanya revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam.

3. OPSI

Alternatif solusi yang ditawarkan oleh Keraf (2002) untuk menyelesaikan problematika lingkungan seakan hanya sebuah ide utopia. Mengapa demikian? Keraf (2002) di akhir buku Etika Lingkungan, hanya menawarkan konsep kembali pada kearifan lokal masyarakat adat. Mampukah masyarakat adat menghadapi globalisasi kapital? Karena tren peradaban dunia justeru makin kapitalistik. Etika antroposentrisme makin mendominasi kehidupan umat manusia. Ideologi developmentalisme kian menemukan momentumnya, saat para pengusaha “hitam” menjadi penguasa. Terjadilah konspirasi antara penguasa dan pengusaha dengan korporasinya.

Namun demikian, konsep etika lingkungan yang ditawarkan oleh Keraf (2002) jika dilaksanakan secara komprehensip baik pada tataran individu, publik maupaun negara tetap memberi secercah harapan bagi upaya penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu opsi yang harus diambil adalah pilihan yang berlandaskan pada etika ekonomi sekaligus etika ekologi. Konsep valuasi ekonomi sumberdaya alam, yang menilai secara komprehensip sumber daya alam (Fauzi,2004) kiranya bisa menjadi jalan tengah (conflict resolution) antara penganut etika antroposentrisme versus etika ekosentrisme.

DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung.

Djojohadikusumo, S.1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Glover, D, dan Timothy Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana. Diterjemahkan oleh Ario Trenggono. Penerbit ITB. Bandung.

Keraf, S.A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta .Terjemahan

Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20

Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soemarwoto, O, 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Baru Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas-Yayasan Kehati. Jakarta.

Harian Kompas, 9 Agustus 2005

Harian Ekonomi Neraca, 14 Februari 2007

Harian Riau Pos, 25 April 2007

Sigi, SCTV, Ahad 1 April 2007

Majalah Swasembada, 1997

www.dkp.go.id

www.dephut.go.id

www.walhi.or.id


2 komentar:

Ibnu Hernawan on 2 September 2008 pukul 09.43 mengatakan...

Terus Berjuang, Allahuakbar

Ibnu Hernawan on 2 September 2008 pukul 09.44 mengatakan...

Mg. Allah meredoi langkah kita

 

Makalah Motivasi Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template